“Umumnya transaksi jual beli yang berlangsung ditengah masyarakat di Desa Aji Kuning, dominan menggunakan perhitungan Ringit Malaysia,” terang Saharudin yang juga memastikan, rata-rata pedagang didaerah itu mencantumkan label harga dengan menggunakan Ringgit Malaysia.
Risau dengan kebiasaan ‘Malaysiaisme’ sebagian masyarakat di Kecamatan Sebatik tersebut, Saharudin berharap upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah maupun pihak-pihak lain guna menebalkan rasa nasionalisme dimaksud lebih diintesifkan lagi.
“Misalnya, pemkab melalui Disperindagkop (Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi) sesekali turun kelapangan mensosialisasikannya,” kata Saharudin yang memastikan kapasitas Disperindagkop cukup kuat untuk memberikan perannya dalam hal ini. “Jangan justru tidak memiliki kepedulian,” tambahnya.
Kekuatiran Saharudin ini, diakuinya bukan sekadar akan terkikisnya rasa nasionalisme masyarakat di Kecamatan Sebatik. Tapi, tanpa disadari, praktik perdagangan dengan menggunakan mata uang Ringgit Malaysia di daerah tersebut, secara ekonomi sebenarnya sangat merugikan masyarakat konsumen.
Harga barang-barang menjadi mahal. Sebab, sekalipun memasok barang produk dalam negeri yang dibeli dengan mata uang rupiah, para pedagang terlebih dahulu akan menghitung modalnya dengan kurs nilai Ringgit Malaysia. Selanjutnya perhitungan harga jual kepada konsumen kedalam bentuk rupiah. Tapi realisasi transaksi akhir pada praktik jual beli yang berlangsung ditengah masyarakat, kembali menggunakan Ringgit Malaysia.
“Asumsi gampangnya, para pedagang sebenarnya sudah beberapa kali menaikkan sendiri nilai modalnya sebelum barang dagangannya dipasarkan kepada masyarakat,” tegas Saharudin lagi.
Dikutip dari SKH Radar Tarakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar